Rabu, 11 April 2012

Pola 17 +

Friska Yusmila Dewi 101014232

Pentingnya Bimbingan dan konselig di Sekolah


TUJUAN pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum; demi mutu keberhasilanakademis seperti persentase lulusan, tingginya nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan kurikulum menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan peserta didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki dunia kerja. Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi akan melulu memperhatikan sisi materi pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya, proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam proses pembentukan pribadi. Betapa pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura personalis) terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran di setiap sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal.
Penulis merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.

Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan pemilahan peran yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib. Siswa mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian dan hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam tindakan hukum-menghukum.

Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun, jika melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah pembentukan pribadi-pribadi yang tidak seimbang.

BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip keseimbangan. Lembaga ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua siswa dapat mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah, sejauh mereka dapat ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka.

Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi yang ideal justru datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri. Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan tugas-tugas konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.

BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai. Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi, sekarang ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam proses kependidikan
 
Friska Yusmila Dewi 101014232

Minggu, 08 April 2012

UPT Layanan Bimbingan Konseling

Kegiatan UPT LBK dilaksanakan di tujuh fakultas, yang berupaya menyelenggarakan kegiatan pelayanan bantuan kepada mahasiswa untuk mengoptimalkan pencapaian keberhasilan yang meliputi sukses akademik, sukses perencanaan karir, sukses sosial kemasyarakatan, dan sukses secara pribadi dalam mencapai kebahagiaan hidup. Tujuan penyelenggaraan bimbingan dan konseling (BK) adalah membantu mahasiswa untuk :
  1. menemukan dan mengembangkan potensi mahasiswa
  2. mencapai prestasi belajar optimal dan menyelesaikan kuliah tepat waktu
  3. memiliki pribadi yang sehat dan  bertanggungjawab, sukses akademik, perencanaan karir, dan  sosial kemasyarakatan
  4. mengembangkan pengetahuan dan keterampilan tentang dunia kerja dan kesempatan kerja
Kegiatan LBK mencakup layanan orientasi  dan informasi mahasiswa baru tentang penyesuaian lingkungan kampus baik bidang akademik, strategi belajar, karir, tata krama pergaulan; peningkatan kualitas dan kuantitas layanan bantuan bimbingan belajar; peningkatan dan pengembangan karir mahasiswa; pengidentifikasian hasil studi mahasiswa; pengidentifikasian permasalahan mahasiswa. Untuk menangani permasalahan mahasiswa tersebut diperlukan kerja sama antara mahasiswa yang bersangkutan, dosen BK, dan dosen penasihat akademik. Di samping itu, juga diperlukan kepedulian pimpinan program studi, jurusan, fakultas, dan universitas. 

friska yusmila dewi 101014232

S1 BK UNESA

S1 Bimbingan Konseling

   Profil dan Sejarah Pendirian

Program studi Bimbingan dan Konseling FIP Unesa (d/h IKIP Surabaya) berdiri sejak tahun 1964 yang kala itu bernama  Guidance and Counseling. Kemudian pada tahun 1968 berubah nama menjadi program studi Bimbingan dan Penyuluhan. Seiring dengan perjalanan waktu pada tahun 1984 berubah lagi menjadi program studi Bimbingan dan Konseling sampai saat ini.
Pada awalnya, dari tahun 1964 sampai 1978 program studi ini mencetak sarjana muda Bimbingan dan Penyuluhan. Kemudian pada tahun 1974 sampai 1978 membuka program doktoral untuk  mencetak sarjana. Pada tahun 1982 program studi Bimbingan dan Konseling pernah membuka program  D3 dan berakhir pada tahun 1986. Akhirnya, sejak tahun 1979 sampai sekarang membuka program S1 Bimbingan dan Konseling.
Perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh prodi Bimbingan dan Konseling, tak bisa dilepaskan dari perkembangan profesi konselor di Indonesia. Berawal pada dekade 1960-an, LPTK-LPTK mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Selanjutnya dengan disyahkannya kurikulum  tahun 1975 yang merupakan pengakuan pemerintah terhadap eksistensi profesi konselor. Pada tahun yang sama, didorong keinginan yang kuat untuk memperkokoh profesi konselor, maka di Malang dibentuklah organisasi profesi yang bernama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Penyuluhan Indonesia) yang selanjutnya pada tahun 2001 berubah menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan konseling Indonesia). Dengan diberlakukannya kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 peserta didik.
Seiring dengan disyahkannya berbagai peraturan dan perundang-undangan oleh pemerintah mendorong perlunya pengembangan dan penataan prodi Bimbingan dan Konseling FIP UNESA sebagai pencetak calon konselor. Beberapa peraturan dan perundangan tersebut diantaranya; 1) UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2) PP nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan, 3) UU nomer 14 tahun 2005 tantang Guru dan Dosen, serta 4) Penataan Pendidikan Profesional Konselor Jalur Pendidikan Formal yang disusun oleh ABKIN dan di syahkan oleh Dirjen DIKTI tahun  2007. 5) Permendiknas No. 27 tahun 2008 tentang Standart Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.

Friska yusmila dewi 101014232

Sabtu, 07 April 2012


TUGAS
Teori – Teori Konseling
Penerapan  Teori Konseling Dalam Studi Kasus
                                          Dosen : Drs. Eko Darminto, M.Si
                                               Denok Setiawati, SPd, M.Pd
Oleh :
Ria Rosela N (101014049)
BK B 2010
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
PRODI BIMBINGAN KONSELING
2011
Studi Kasus :
            Ina adalah seorang pelajar kelas XII di sebuah SMA favorit Surabaya. Dulu sebelum orang tuanya bercerai dua tahun lalu Ina sering mendapat juara lomba sains tingkat nasional dan dia selalu mendapat juara kelas. Ketika dia mendapatkan juara dalam sebuah perlombaan dia selalu mendapat hadiah dari kedua orang tuanya. Dia sangat senang menjalani hidupnya saat itu. Tetapi semenjak orang tuanya bercerai Ina menjadi berubah drastis. Ina menjadi pendiam dan prestasinya pun merosot. Ina lebih senang menyendiri karena dia malu dengan kondisi keluarganya. Dia merasa hidup didunia ini sendiri tidak ada teman untuk berbagi cerita karena Ina merupakan anak tunggal. Dia tidak mungkin bercerita kepada temannya masalah keluarganya karena malu. Dia menjadi tidak percaya diri. Kondisi ini lebih memburuk ketika Mamanya memutuskan untuk menikah lagi sedangkan Papanya entah dimana keberadaanynya. Tidak ada perhatian yang Ina dapat karena Mamanya sekarang lebih sibuk dengan Papa dan adik tirinya. Mamanya bahkan tidak menghargainya lagi ketika Ina mendapat juara dalam perlombaan maupun juara kelas. Dia merasa hidupnya tak bermakna lagi. Hal itu mengakibatkan dia menjadi tidak konsen belajar dan tidak punya semangat untuk belajar. Padahal beberapa bulan lagi dia akan menghadapi UAN. Tryout – tryout yang dia ikuti tidak menhasilkan hasil yang memuaskan.
Masalah Ina dalam Teori Eksistensial
Menurut pandangan teori Eksistensial, manusia memiliki pokok – pokok ajaran yang meliputi manusia tak bisa menghindari ketiadaan atau kematian, sendiri/teralinasi, tak berdaya/tak bermakna, dan rasa cemas/rasa bersalah. Menurut konseling eksistensial manusia sebagai makhluk ciptaan yang sulit untuk dimengerti. Dalam sistem teorinya. Para eksistensialis memiliki keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk menangani beberapa masalah yang dia hadapi dan membuat hidupnya lebih bermakna. Potensi – potensi tersebut salah satunya aktualisasi diri. Konseling eksistensial memandang manusia memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan diri. Tetapi aktualisasi diri ini dapat terhambat oleh bebrapa faktor seperti latar belakang keluarga dalam bentuk lingkungan yang tidak mendorong kreatifitas dan menumpuknya kecemasan sehingga gagal mencapai aktualisasi diri. Akibatnya seseorang tersebuat bila tidak bisa beraktualisasi diri, dia berpotensi dihinggapi perasaan malu, bersalah, dan cemas serta mempresepsi hidupnya tak bermakna. Setiap orang termotivasi untuk membuat hidupnya bermakna. Setiap manusia memeiliki cara sendiri untuk membuat hidupnya bermakna. Banyak orang pada umumnya menemukan makna hidup melalui aktivitasnya seperti mencapai prestasi yang tinggi disekolah, memilki banyak sahabat dan orang – orang yang mencintainya. Salah satunya Ina, dia termasuk orang yang memaknakan hidupnya dengan memiliki prestasi yang tinggi dan dikelilingi orang – orang yang menyayanginya.
Dalam kasus ini, Ina tidak bisa mencapai aktualisasi diri sehingga dia merasa dirinya tak bermakna. Padahal dia memiliki potensi untuk membuat hidupnya bermakna tetapi lingkungan disekitarnya tidak bisa mendukung dia untuk membuat hidupnya lebih bermakna. Para eksistensialis memiliki pandangan yang optimis dan mengakui bahwa seseorang memiliki potensi untuk menangani kondisi – kondisi yang membuat hidupnya tak bermakna. Tetapi Ina tidak bisa merasakan kebermaknaan dalam hidupnya sekarang.
Bila kondisi ini diterus – teruskan, bisa jadi kelak Ina akan mengalami gangguan mental dan akan menghambat perkembangan Ina kedepan. Karena pada sistem teori eksistensial dalam konsep kesehatan mental manusia dikatakan sehat mentalnya apabila mereka memiliki keseimbangan dalam dirinya sendiri, dengan lingkungan, dan dengan lingkungan keluarga. Dalam hal ini konseling eksistensial menekan pentingnya seseorang menyatukan diri dengan lingkungannya, karena jika ingin menjadi seseorang yang bermental sehat maka dia harus bisa mengatur kehidupannya sendiri dan tidak menempatkan diri menjadi korban lingkungan.
Tujuan dan Teknik Konseling Yang Digunakan
Tujuan mendasar dari konseling eksistensial adalah membantu manusia menemukan nilai, makna dan tujuan hidup seseorang itu sendiri. Tujuan konseling disini lebeih membantu konseli (Ina) untuk lebih menyadari tentang apa yang sedang dia lakukan dan membantu dia untuk keluar dari anggapan bahwa dia adalah korban dari keadaan keluarganya yang tidak utuh lagi. Konseling disini juga membatu konseli (Ina) agar menjadi lebih sadar bahwa dia memiliki kebebebasan untuk memilih dan bertindak tehadap dirinya sendiri. Dengan membantu membuat pilihan hidupnya yang mungkin dapat membantu dirinya untuk bisa beraktulisasi diri dan bisa mencapai kebermaknaan hidup.
Teknik konseling yang bisa digunakan adalah konseling logo (KL). Pada dasarnya konseling eksistensial tidak memiliki teknik khusus. Konseling logo disini membantu konseli ( Ina ) untuk mengakui kebutuhan – kebutuhan mereka akan makna, menumbuhkan kesadaran dan pengakuan bahwa semua orang dapat membuat makna dalam kehidupannya sendiri dan membantu konseli (Ina) menemukan makna dan tujuan hidupnya. Atau teknik derefleksi. Teknik derefleksi adalah teknik yang menggunakan bentuk intervensi paradoksial untuk membantu konseli (Ina) menangani perasaan tidak bermakna. Dalam teknik ini konselor mendorong konseli (Ina) untuk mengurang perhatian terhadap dirinya sendiri dan lebih menekankan pada upaya diluar dirinya. Prinsip ini akn membantu konseli (Ina) untuk mengurangi kecemasan dan mempermudah konseli (Ina) dalam menemukan makna hidupnya. Teknik ini cocok untuk Ina karena ia merasa dirinya sudah tidak bermakna lagi sejak orang tuanya bercerai dan kesulitan untuk memaknai hidupnya kembali. Dalam teknik derefleksi konselor akan membantu konseli (Ina) mengungkapkan perasaan – perasaan yang dia rasakan untuk kembali menemukan makna hidupnya. Dengan memberikan umpan untuk membantu konseli (Ina) mengungkapkan apa yang ia rasakan dan mengarahkan pikirannya supaya fokus tidak mencampurkan perasaan emosiaonalnya. Memancing konseli (Ina) untuk lebih ekspresif sehingga konselor bisa mengetahui apa yang dirasakan melalui ekspresinya tersebut. Setelah konselor mengetahui perasaan dari si konseli (Ina) konselor membantu konseli (Ina) menemukan maknanya dengan menyadari kebutuhan apa saja yang Ina butuhkan untuk membuat hidupnya bermakna kembali. Dengan membangkitkan semangatnya untuk mau belajar dan mengakui keunggulannya dalam bidang akademik akan membantu menemukan makna hidupnya kembali. Konselor menyadarkan Ina bahwa penghargaan untuk membuat hidupnya bermakna tidak hanya bisa dia dapatkan dari kedua orang tuanya tetapi lingkungan sekitar kehidupannya seperti teman – temannya mengakui akan keunggulan Ina dalam bidang akademik.

RIA ROSELA
(101014049)

Rabu, 04 April 2012

peraturan pemerintah

PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2008
TENTANG
STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 28 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);


2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR.
.
Pasal 1
(1) Untuk dapat diangkat sebagai konselor, seseorang wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor yang berlaku secara nasional.
(2) Standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Penyelenggara pendidikan yang satuan pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri paling lambat 5 tahun setelah Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2008

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478

(friska yusmila dewi)








Beberapa Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Perjalanan bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :
1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya.
Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).
2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat insidental.
Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.
5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.
Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.
7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.
Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten
8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah.
Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lain
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.
Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau ahli.
11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu.
Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi.
13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi
Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan
15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.
Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.

RIA ROSELA^_^