Rabu, 11 April 2012
Pentingnya Bimbingan dan konselig di Sekolah
TUJUAN pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum;
demi mutu keberhasilanakademis seperti persentase lulusan, tingginya
nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi
negeri. Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan
kurikulum menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah
umum/SMU) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau
penyiapan peserta didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup
memasuki dunia kerja. Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi akan melulu memperhatikan sisi materi
pelajaran, agar para lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi.
Akibatnya, proses pendidikan di jenjang sekolah menengah akan
kehilangan bobot dalam proses pembentukan pribadi. Betapa
pembentukan pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai
kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura personalis)
terabaikan. Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran di setiap
sekolah. Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK)
direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang
sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi,
ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner
siswa. Memanggil, memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi
label BK di banyak sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai
“musuh” bagi siswa bermasalah atau nakal.
Penulis merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.
Penulis merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan konseling di sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal. Pertama, dalam perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis). Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu sekolah.
Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan
pemilahan peran yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan
para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala
sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner
dan hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib.
Siswa mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor
yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian dan
hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran
demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward
atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam
tindakan hukum-menghukum.
Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan
orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang
muda di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian,
cercaan, dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan.
Namun, jika melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering
pujian, sanjungan atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk
pribadi-pribadi yang memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika
seluruh komponen kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang
menghakimi dan memberikan vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah
pembentukan pribadi-pribadi yang tidak seimbang.
BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip
keseimbangan. Lembaga ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa
untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana
menjadi tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk
diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua
siswa dapat mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah,
sejauh mereka dapat ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka.
Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi
yang ideal justru datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri.
Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan
konselor atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan
memakan “gaji buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas
mengajar keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan,
atau jika tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus
dipersoalkan jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan
tugas-tugas konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal,
betapa pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam
penanganannya.
BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak
dari ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah
sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai.
Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang
disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan
toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba
menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh
harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi, sekarang
ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya
tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua
itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah dan semua pihak yang
terlibat dalam proses kependidikan
Friska Yusmila Dewi 101014232
Minggu, 08 April 2012
UPT Layanan Bimbingan Konseling
Kegiatan UPT LBK dilaksanakan di tujuh
fakultas, yang berupaya menyelenggarakan kegiatan pelayanan bantuan
kepada mahasiswa untuk mengoptimalkan pencapaian keberhasilan yang
meliputi sukses akademik, sukses perencanaan karir, sukses sosial
kemasyarakatan, dan sukses secara pribadi dalam mencapai kebahagiaan
hidup. Tujuan penyelenggaraan bimbingan dan konseling (BK) adalah
membantu mahasiswa untuk :
- menemukan dan mengembangkan potensi mahasiswa
- mencapai prestasi belajar optimal dan menyelesaikan kuliah tepat waktu
- memiliki pribadi yang sehat dan bertanggungjawab, sukses akademik, perencanaan karir, dan sosial kemasyarakatan
- mengembangkan pengetahuan dan keterampilan tentang dunia kerja dan kesempatan kerja
Kegiatan LBK mencakup layanan orientasi dan
informasi mahasiswa baru tentang penyesuaian lingkungan kampus baik
bidang akademik, strategi belajar, karir, tata krama pergaulan;
peningkatan kualitas dan kuantitas layanan bantuan bimbingan belajar;
peningkatan dan pengembangan karir mahasiswa; pengidentifikasian hasil
studi mahasiswa; pengidentifikasian permasalahan mahasiswa. Untuk
menangani permasalahan mahasiswa tersebut diperlukan kerja sama antara
mahasiswa yang bersangkutan, dosen BK, dan dosen penasihat akademik. Di
samping itu, juga diperlukan kepedulian pimpinan program studi,
jurusan, fakultas, dan universitas.
friska yusmila dewi 101014232
S1 BK UNESA
S1 Bimbingan Konseling
Profil dan Sejarah PendirianProgram studi Bimbingan dan Konseling FIP Unesa (d/h IKIP Surabaya) berdiri sejak tahun 1964 yang kala itu bernama Guidance and Counseling. Kemudian pada tahun 1968 berubah nama menjadi program studi Bimbingan dan Penyuluhan. Seiring dengan perjalanan waktu pada tahun 1984 berubah lagi menjadi program studi Bimbingan dan Konseling sampai saat ini.
Pada awalnya, dari tahun 1964 sampai 1978
program studi ini mencetak sarjana muda Bimbingan dan Penyuluhan.
Kemudian pada tahun 1974 sampai 1978 membuka program doktoral untuk
mencetak sarjana. Pada tahun 1982 program studi Bimbingan dan Konseling
pernah membuka program D3 dan berakhir pada tahun 1986. Akhirnya,
sejak tahun 1979 sampai sekarang membuka program S1 Bimbingan dan
Konseling.
Perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh
prodi Bimbingan dan Konseling, tak bisa dilepaskan dari perkembangan
profesi konselor di Indonesia. Berawal pada dekade 1960-an, LPTK-LPTK
mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Selanjutnya dengan
disyahkannya kurikulum tahun 1975 yang merupakan pengakuan pemerintah
terhadap eksistensi profesi konselor. Pada tahun yang sama, didorong
keinginan yang kuat untuk memperkokoh profesi konselor, maka di Malang
dibentuklah organisasi profesi yang bernama IPBI (Ikatan Petugas
Bimbingan Penyuluhan Indonesia) yang selanjutnya pada tahun 2001
berubah menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan konseling Indonesia).
Dengan diberlakukannya kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi
layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di
Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah
untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 peserta
didik.
Seiring dengan disyahkannya berbagai peraturan
dan perundang-undangan oleh pemerintah mendorong perlunya pengembangan
dan penataan prodi Bimbingan dan Konseling FIP UNESA sebagai pencetak
calon konselor. Beberapa peraturan dan perundangan tersebut
diantaranya; 1) UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, 2) PP nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan, 3) UU
nomer 14 tahun 2005 tantang Guru dan Dosen, serta 4) Penataan
Pendidikan Profesional Konselor Jalur Pendidikan Formal yang disusun
oleh ABKIN dan di syahkan oleh Dirjen DIKTI tahun 2007. 5)
Permendiknas No. 27 tahun 2008 tentang Standart Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Konselor.Friska yusmila dewi 101014232
Sabtu, 07 April 2012
TUGAS
Teori – Teori Konseling
Penerapan Teori Konseling Dalam
Studi Kasus
Dosen : Drs. Eko Darminto, M.Si
Denok
Setiawati, SPd, M.Pd
Oleh :
Ria Rosela N (101014049)
BK B 2010
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN
BIMBINGAN
PRODI BIMBINGAN KONSELING
2011
Studi Kasus :
Ina
adalah seorang pelajar kelas XII di sebuah SMA favorit Surabaya. Dulu sebelum
orang tuanya bercerai dua tahun lalu Ina sering mendapat juara lomba sains
tingkat nasional dan dia selalu mendapat juara kelas. Ketika dia mendapatkan
juara dalam sebuah perlombaan dia selalu mendapat hadiah dari kedua orang
tuanya. Dia sangat senang menjalani hidupnya saat itu. Tetapi semenjak orang
tuanya bercerai Ina menjadi berubah drastis. Ina menjadi pendiam dan
prestasinya pun merosot. Ina lebih senang menyendiri karena dia malu dengan
kondisi keluarganya. Dia merasa hidup didunia ini sendiri tidak ada teman untuk
berbagi cerita karena Ina merupakan anak tunggal. Dia tidak mungkin bercerita
kepada temannya masalah keluarganya karena malu. Dia menjadi tidak percaya
diri. Kondisi ini lebih memburuk ketika Mamanya memutuskan untuk menikah lagi
sedangkan Papanya entah dimana keberadaanynya. Tidak ada perhatian yang Ina
dapat karena Mamanya sekarang lebih sibuk dengan Papa dan adik tirinya. Mamanya
bahkan tidak menghargainya lagi ketika Ina mendapat juara dalam perlombaan
maupun juara kelas. Dia merasa hidupnya tak bermakna lagi. Hal itu
mengakibatkan dia menjadi tidak konsen belajar dan tidak punya semangat untuk
belajar. Padahal beberapa bulan lagi dia akan menghadapi UAN. Tryout – tryout
yang dia ikuti tidak menhasilkan hasil yang memuaskan.
Masalah Ina dalam Teori Eksistensial
Menurut pandangan teori Eksistensial,
manusia memiliki pokok – pokok ajaran yang meliputi manusia tak bisa
menghindari ketiadaan atau kematian, sendiri/teralinasi, tak berdaya/tak
bermakna, dan rasa cemas/rasa bersalah. Menurut konseling eksistensial manusia
sebagai makhluk ciptaan yang sulit untuk dimengerti. Dalam sistem teorinya.
Para eksistensialis memiliki keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi
untuk menangani beberapa masalah yang dia hadapi dan membuat hidupnya lebih
bermakna. Potensi – potensi tersebut salah satunya aktualisasi diri. Konseling
eksistensial memandang manusia memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan
diri. Tetapi aktualisasi diri ini dapat terhambat oleh bebrapa faktor seperti
latar belakang keluarga dalam bentuk lingkungan yang tidak mendorong
kreatifitas dan menumpuknya kecemasan sehingga gagal mencapai aktualisasi diri.
Akibatnya seseorang tersebuat bila tidak bisa beraktualisasi diri, dia
berpotensi dihinggapi perasaan malu, bersalah, dan cemas serta mempresepsi
hidupnya tak bermakna. Setiap orang termotivasi untuk membuat hidupnya
bermakna. Setiap manusia memeiliki cara sendiri untuk membuat hidupnya
bermakna. Banyak orang pada umumnya menemukan makna hidup melalui aktivitasnya
seperti mencapai prestasi yang tinggi disekolah, memilki banyak sahabat dan
orang – orang yang mencintainya. Salah satunya Ina, dia termasuk orang yang
memaknakan hidupnya dengan memiliki prestasi yang tinggi dan dikelilingi orang
– orang yang menyayanginya.
Dalam kasus ini, Ina tidak bisa
mencapai aktualisasi diri sehingga dia merasa dirinya tak bermakna. Padahal dia
memiliki potensi untuk membuat hidupnya bermakna tetapi lingkungan disekitarnya
tidak bisa mendukung dia untuk membuat hidupnya lebih bermakna. Para
eksistensialis memiliki pandangan yang optimis dan mengakui bahwa seseorang
memiliki potensi untuk menangani kondisi – kondisi yang membuat hidupnya tak
bermakna. Tetapi Ina tidak bisa merasakan kebermaknaan dalam hidupnya sekarang.
Bila kondisi ini diterus – teruskan,
bisa jadi kelak Ina akan mengalami gangguan mental dan akan menghambat
perkembangan Ina kedepan. Karena pada sistem teori eksistensial dalam konsep
kesehatan mental manusia dikatakan sehat mentalnya apabila mereka memiliki
keseimbangan dalam dirinya sendiri, dengan lingkungan, dan dengan lingkungan
keluarga. Dalam hal ini konseling eksistensial menekan pentingnya seseorang
menyatukan diri dengan lingkungannya, karena jika ingin menjadi seseorang yang
bermental sehat maka dia harus bisa mengatur kehidupannya sendiri dan tidak
menempatkan diri menjadi korban lingkungan.
Tujuan dan Teknik Konseling Yang Digunakan
Tujuan mendasar dari konseling
eksistensial adalah membantu manusia menemukan nilai, makna dan tujuan hidup
seseorang itu sendiri. Tujuan konseling disini lebeih membantu konseli (Ina)
untuk lebih menyadari tentang apa yang sedang dia lakukan dan membantu dia
untuk keluar dari anggapan bahwa dia adalah korban dari keadaan keluarganya
yang tidak utuh lagi. Konseling disini juga membatu konseli (Ina) agar menjadi
lebih sadar bahwa dia memiliki kebebebasan untuk memilih dan bertindak tehadap
dirinya sendiri. Dengan membantu membuat pilihan hidupnya yang mungkin dapat
membantu dirinya untuk bisa beraktulisasi diri dan bisa mencapai kebermaknaan
hidup.
Teknik konseling yang bisa digunakan
adalah konseling logo (KL). Pada dasarnya konseling eksistensial tidak memiliki
teknik khusus. Konseling logo disini membantu konseli ( Ina ) untuk mengakui
kebutuhan – kebutuhan mereka akan makna, menumbuhkan kesadaran dan pengakuan
bahwa semua orang dapat membuat makna dalam kehidupannya sendiri dan membantu
konseli (Ina) menemukan makna dan tujuan hidupnya. Atau teknik derefleksi.
Teknik derefleksi adalah teknik yang menggunakan bentuk intervensi paradoksial
untuk membantu konseli (Ina) menangani perasaan tidak bermakna. Dalam teknik
ini konselor mendorong konseli (Ina) untuk mengurang perhatian terhadap dirinya
sendiri dan lebih menekankan pada upaya diluar dirinya. Prinsip ini akn
membantu konseli (Ina) untuk mengurangi kecemasan dan mempermudah konseli (Ina)
dalam menemukan makna hidupnya. Teknik ini cocok untuk Ina karena ia merasa
dirinya sudah tidak bermakna lagi sejak orang tuanya bercerai dan kesulitan
untuk memaknai hidupnya kembali. Dalam teknik derefleksi konselor akan membantu
konseli (Ina) mengungkapkan perasaan – perasaan yang dia rasakan untuk kembali
menemukan makna hidupnya. Dengan memberikan umpan untuk membantu konseli (Ina)
mengungkapkan apa yang ia rasakan dan mengarahkan pikirannya supaya fokus tidak
mencampurkan perasaan emosiaonalnya. Memancing konseli (Ina) untuk lebih
ekspresif sehingga konselor bisa mengetahui apa yang dirasakan melalui
ekspresinya tersebut. Setelah konselor mengetahui perasaan dari si konseli
(Ina) konselor membantu konseli (Ina) menemukan maknanya dengan menyadari
kebutuhan apa saja yang Ina butuhkan untuk membuat hidupnya bermakna kembali.
Dengan membangkitkan semangatnya untuk mau belajar dan mengakui keunggulannya
dalam bidang akademik akan membantu menemukan makna hidupnya kembali. Konselor
menyadarkan Ina bahwa penghargaan untuk membuat hidupnya bermakna tidak hanya
bisa dia dapatkan dari kedua orang tuanya tetapi lingkungan sekitar
kehidupannya seperti teman – temannya mengakui akan keunggulan Ina dalam bidang
akademik.
RIA ROSELA
(101014049)
RIA ROSELA
(101014049)
Rabu, 04 April 2012
peraturan pemerintah
PERATURAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2008
TENTANG
STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
Menimbang : bahwa
dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 28 ayat (5) Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
3. Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
4. Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Pembentukan
Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77/P Tahun 2007;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR.
.
Pasal 1
(1) Untuk
dapat diangkat sebagai konselor, seseorang wajib memenuhi standar
kualifikasi akademik dan kompetensi konselor yang berlaku secara
nasional.
(2) Standar
kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 2
Penyelenggara
pendidikan yang satuan pendidikannya mempekerjakan konselor wajib
menerapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri paling lambat 5 tahun setelah Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
Pasal 3
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2008
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD.
BAMBANG SUDIBYO
Salinan sesuai dengan aslinya
Biro Hukum dan Organisasi
Departemen Pendidikan Nasional,
Kepala Bagian Penyusunan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,
Muslikh, S.H.
NIP 131479478
(friska yusmila dewi)
|
Beberapa Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Perjalanan bimbingan dan konseling menuju
sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus
dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah
mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan
dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya
sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi
ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan
orang-orang yang berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga
banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan
bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :
1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah
identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah
payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena
dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan
saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama
sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah.
Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling
harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan
konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan
sehari-hari.
Walaupun guru dalam
melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan
kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan
menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa
yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di
sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal
pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan
individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan
dan Konseling lainnya.
Begitu pula, Bimbingan
dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari
pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki
derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca:
pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa
untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki
karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).
2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.
Dalam hal-hal tertentu
memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling
dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan
konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui
berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang
pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien,
mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian,
pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan
dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit
sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang
mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater
bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya,
sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah
secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan
mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya
perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat insidental.
Memang tidak dipungkiri
pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari
masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan
responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling
dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas
masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan
konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana,
yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan
konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan
pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan)
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling
tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang
memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus
dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All).
Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama,
melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.
5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”.
Sasaran Bimbingan dan
Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah.
Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang
tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika
seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang
psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit
petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati
dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal.
Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal).
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja.
Pada umumnya usaha
pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan
awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan
mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul.
Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas,
pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada
persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam
dibalik tidak masuk kelasnya.
7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.
Ukuran berat-ringannya
suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang
dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu
sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah
dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya
masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi
konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas.
Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga
menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah
(referal) kepada pihak yang lebih kompeten
8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”.
Masih banyak anggapan
bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga
dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak
jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian,
bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah.
Dengan kekuatan inti
bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru
harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat
mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa.
Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi,
pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang
dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan
konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat.
Bimbingan dan konseling
bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat
hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan
konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh
kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara
optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lain
Pelayanan bimbingan dan
konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat
dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya
pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor
perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu
penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah
misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri
sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang
tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur
lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu
penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing
saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan
pihak-pihak lain sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus
pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling
menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping
itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang
ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru
mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam
menangani masalah-masalah belajar.
Namun demikian,
konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan
ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru
pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau
petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus
berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya
pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain
atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru
salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan
orang lain atau ahli.
11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif
Sesuai dengan asas
kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak
bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara
langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak
lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri.
Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”,
tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan
kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu
kelancaran usaha pelayanan itu.
Pada dasarnya pelayanan
bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya
tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan
yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu
pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap,
tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja
Benarkah pekerjaan
bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa
saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan
konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan
secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan
konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan
teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas
tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu
ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu
harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan
konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang
cukup lama di Perguruan Tinggi.
13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Cara apapun yang akan
dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi
klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun
yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali
terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan.
Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin
ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk
mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada
pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai,
kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan instrumentasi
Perlengkapan dan sarana
utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah
“mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya
instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah
sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu,
menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan
bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak
menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih
untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan
selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus
berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan
15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat.
Disadari bahwa semua
orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi
sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan
itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan
“cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan
konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan
terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru
dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian..
Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk
menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan
dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.
RIA ROSELA^_^
Langganan:
Postingan (Atom)